Nostalgia Slamet Rahardjo di Belitung


Ada banyak alasan orang tatkala menerima peran dalam sebuah proyek film. Soal eksistensi, uang, cerita yang menarik, atau kerja bareng dengan sineas besar itu jawaban yang standar. Bagaimana dengan nostalgia masa lalu? Aha, boleh jadi ini jarang terjadi. Simak saja dengan yang dialami aktor senior Slamet Rahardjo misalnya ketika menerima peran dalam Laskar Pelangi.

”Saya pernah tinggal dan menamatkan SMA saya di Tanjung Pandan (Pulau Belitung),” demikian tutur Slamet saat dijumpai beberapa waktu lalu. ”Bahasa-bahasa Belitung saya sangat kuasai karena saya bergaul.”

Saat ditawari peran dalam film yang settingnya di pulau Belitung ini dia langsung terkenang akan masa remajanya di sana. ”Saya bukan sebagai anak pejabat, justru sebagai komandan Pramuka,” cerita aktor yang dibesarkan di Teater Populer ini.

Sejatinya, kakak kandung Eros Djarot ini sedang merendah. Ayahnya justru sedang menjabat sebagai komandan pangkalan Angkatan Udara di sana di zaman Dwikora, pada era 1960-an. Zaman Gestapu 1965, papar Slamet, sekolahnya masih di kota Yogyakarta. ”Tapi saya tak pernah masuk sekolah, lebih banyak di jalan ikut aksi-aksi. Maka bapak mengambil kebijakan, anaknya diambil disuruh sekolah di Tanjung Pandan,” sodornya kembali.

Perihal kondisi sekolah yang memprihatinkan macam yang digambarkan Andrea Hirata dalam novelnya rupanya Slamet paham betul. ”Saya tahu sekolah-sekolah seperti itu. Saya bersama Eros suka bikin pertunjukan yang melibatkan anak-anak Pramuka. Ya nyanyi, drama, musik. Kalau dapat uang disumbangkan untuk badan pendidikan,” lagi-lagi aktor terbaik FFI 1975 dan 1983 ini bernostalgia.

Kenangan-kenangan macam ini bisa jadi hanya prioritas nomor sekian bagi Slamet. Pasalnya, faktor yang sangat dikedepankan tetap saja ceritanya. ”Setiap cerita yang mengungkapkan tentang harga diri manusia, saya selalu jatuh cinta,” sergahnya dengan lugas.

”Manusia sekarang ini tak punya harga diri. Kalau ada cerita tentang manusia yang memiliki harga diri, itu menyenangkan,” demikian seloroh sutradara terbaik FFI 1985 dan 1987 ini.

3 comments:

Tri Ubaya said...

maaf saya kurang Stuju pak...
sebenrnya manusia skarang itu masih punya harga diri loh!

tapi ya harga dirinya minim bgt,jadi harga diri mereka murah bgt!dijual di emperan kaya jualan sendal jepit....
(g nyambung ya?:D )


http://triubaya.blogspot.com

Anonymous said...

lebih menikmati yang mana ni.. menikmati nostalgia masa remaja atau lebih menikmati syuting?

setengah-setengah tu jadinya..

tapi bahasanya orang tua tu sering keliru diartikan. mungkin maksudnya om Slamet Rahardjo adalah sepenuh hati memainkan peran di film Laskar Pelangi. selesai syuting, baru bernostalgia. begitu...

loh? kok aku jadi juru bicaranya :D

btw soal Belitung dan Babel, ada dua tokoh Indonesia yang lahir di Babel, yaitu Yusril Ihza Mahendra & Antasari Azhar.

Untung S. Drazat said...

Pantesan logat Belitong-nya pas banget, abis pernah tinggal di sana, ya.
OK, "pertarungan" Mas Slamet dan Mas Ikra OK banget.